30.4.15

Citizen Journalism?

ALOHA
Sudah lama sekali tak bersua, wahai kawan lama
Nah! Pada kesempatan kali ini, gue akan membagi cerita gue ketika mengikuti seminar Jurnalism di Pekan Komunikasi Universitas Indonesia minggu lalu

Jadi sebenarnya ini tugas, tapi gue mau share juga dengan teman-teman pengunjung blogku semua



Pada hari Kamis, 23 April 2015 telah dilaksanakan seminar Journalight mengenai The Power of Citizen Journalism dan Unseen Local Issue. Pembicara pada seminar tersebut adalah Dede Apriadi selaku Kepala Redaksi NET TV, Tantyo Bangun selaku co-founder jelajah.co.id, dan Helena Yoranita sebagai perwakilan dari Watchdoc. 

Pada sesi pertama, para pembicara menjelaskan mengenai Citizen Journalism. Kak Dodi Prananda sebagai moderator membuka sesi pertama dengan membahas Citizen Journalism bersama Mas Dede. Mas Dede menuturkan bahwa NET TV merupakan salah satu pionir dari adanya Citizen Journalism di Indonesia. Pada awalnya, NET TV tidak terlalu serius membawa Citizen Journalism ini, namun ternyata ketika NET TV mencoba menggunakan video berita yang dikirimkan oleh masyarakat, video tersebut begitu baik dan layak ditayangkan. Saat ini, NET TV mempunyai engine sendiri untuk Citizen Jorunalism dimana masyarakat dapat mengunggah video dan membernya kini telah mencapai 20.000 member. Mas Dede menjelaskan bahwa Citizen Journalism sangat potensial, namun adanya Citizen Journalism ini mengakibatkan adanya konflik internal pada redaksi. Wartawan merasa khawatir dengan adanya Citizen Journalism ini.

Kemudian dilanjutkan oleh Mas Tantyo, Mas Tantyo merasakan bahwa adanya Citizen Journalism ini membantu media untuk mendapatkan berita yang menarik dan beragam. Mas Tantyo menceritakan pada saat ia bekerja pada National Geographic Indonesia, diadakan sebuah sayembara fotografi yang akan dikompilasikan menjadi 55 foto Gunung Berapi terindah di Indonesia. Ternyata hasil yang didapatkan dari masyarakat begitu indah dan unik, sama bagusnya dengan foto yang dikirimkan fotografer profesional. Lalu pada saat Mas Tantyo mengadakan workshop mengenai fotografi dan berita untuk warga di Lamalera, hasil praktik foto-foto warga begitu mencenangkan karena begitu detail sehingga data visual tersebut dapat dimanfaatkan untuk penelitian visual. 

Mbak Helena melanjutkan dengan sejarah Citizen Journalism. Awal dari adanya Citizen Journalism adalah pengiriman video amatir kasus kekerasan di STPDN. Mbak Helena juga menuturkan bahwa Citizen Journalism seharusnya bukan menjadi ancaman bagi wartawan, namun sebagai pelengkap dan saling membantu. Menurut Mbak Helena, saat ini masyarakat Indonesia sudah pintar sebagai penonton. 

Seminar dilanjutkan pada sesi kedua membahas isu Unseen Local Issue. Isu ini diangkat karena adanya perasaan bahwa berita terlalu sentralisasi di daerah pulau Jawa. Mas Dede menjelaskan bahwa saat ini peraturan perundang-undangan mengatur bahwa 20% dari waktu siar hrus diisi dengan adanya berita lokal. NET TV sendiri terus berusaha untuk meningkatkan berita lokal. Saat ini, lebih dari 500 video diunggah setiap harinya di engine Citizen Journalism meliputi seluruh daerah di Indonesia. Menurut Mas Dede, diperlukan usaha untuk mendapatkan sponsor yang mendukung adanya siaran lokal. 

Mbak Helena kemudian menampilkan video mengenai perjuangan radio komunitas di Lampung. Karena rumitnya izin siaran dengan ketentuan yang dipersulit, hanya sedikit radio komunitas yang dapat bertahan. Menurut Mbak Helena, publik masih belum paham bahwa frekuensi publik merupakan milik masyarakat bukan dari televisi maupun radio. Frekuensi publik saat ini disalahgunakan oleh pemilik media hanya untuk mendapatkan keuntungan. Hampir setiap televisi menampilkan program dan berita yang seragam karena mekanisme pasar. Menkominfo dan KPI seharusnya mengevaluasi setiap 10 tahun sekali. Upaya yang dapat dilakukan untuk menyadarkan masyarakat mengenai frekuensi publik adalah milik masyarakat yaitu masyarakat harus melek media. 

Setelah mengikuti seminar ini, saya semakin merasakan kedahsyatan media khususnya televisi. Dan yang saya sadari pula bahwa saat ini, pemberitaan di media cenderung sentralisasi. Pengalaman pribadi saya adalah ketika saya mencari berita mengenai pengelolaan air di Papua, sumber yang saya dapatkan kebanyakan berasal dari media lokal. Media nasional masih sedikit yang menyoroti daerah-daerah selain pulau Jawa. Pemaparan mengenai frekuensi publik pun menurut saya cukup mencenangkan. Frekuensi yang seharusnya milik publik, bahkan tidak diketahui publik tentang status kepemilikannya. Publik sebagai penonton masih cenderung menerima, jika tidak suka dengan acara televisi, hanya bisa mematikan televisi. Padahal frekuensi publik merupakan hak kita sebagai penonton. Para punggawa media lah yang seharusnya menghormati kepemilikan frekuensi publik dengan menyajikan acara yang memberikan manfaat kepada publik, bukan hanya cerita seputar seseorang mengenai kehidupannya yang tidak berdampak apa-apa bagi orang banyak. 

Pada pelajaran Teori Komunikasi, dijelaskan mengenai sebuah teori yaitu Cultivation Theory. Secara singkat, teori tersebut menggambarkan bahwa media khususnya televisi saat ini cenderung menampilkan kekerasan sehingga membuat resah penonton. Contohnya berita pembunuhan, perampokan, pemerkosaan yang selalu ada di berita layar kaca. Namun setelah mendengarkan teori tersebut, apakah hanya ada efek negatif dari kekerasan yang disiarkan pada publik? Ternyata sebenarnya tidak hanya efek negatif yang ada, efek yang baik (sepertinya kurang cocok jika saya sebut positif) dari adanya kekerasan yang ditampilkan adalah masyarakat menjadi lebih berhati-hati, bukan fobia, namun hati-hati dan was-was karena kejahatan ada di sekitar kita. Berita tersebut juga membuat masyarakat lebih strategis menghadapi keadaan, dengan adanya berita seperti itu seharusnya diiringi dengan liputan mengenai pencegahan, apa yang harus dilakukan untuk menyelamatkan diri, dan apa yang harus dilakukan paska kejadian. 

Seperti biasa, saya membahas sebuah topik cenderung lebih breadth daripada depth 

Harapan saya, baik sebagai warga negara Indonesia dan pelaku media di masa depan (amin), adalah bahwa kedepannya masyarakat Indonesia lebih melek dengan media. Tidak hanya masyarakat, para punggawa media juga semakin sadar dengan kepemilikan frekuensi publik. Dengan media yang bersih, tidak sentralisasi, dan inklusif akan mendukung perkembangan Indonesia menjadi negara yang maju dan berdaya saing tinggi. 


See you adioso!