Aku
membenarkan posisi dudukku yang mulai tenggelam di sofa. Meneggakkan sandaranku
hingga pandangan dihadapanku telihat jelas. Melihat seorang pria disebrangku
sedang menatap layar komputer jinjingnya, dan segerombolan wanita di meja ujung
sedang tertawa-tawa. Aroma kopi jelas semerbak di setiap sudut ruang kafe ini.
Suara mesin kopi terdengar begitu jelas karena tempat dudukku berada di
dekatnya. Aku menatap secangkir cappuccinoku yang belum tersentuh, masih
berbuih dengan sebuah gambar hati yang terpotong garis terukir diatasnya. Entah
mengapa aku tidak tega untuk menghancurkan keindahan itu. Aku melirik kearah
jam tangan cokelat di pergelangan tanganku, jam sudah menunjukkan lewat dari
pukul 7. Sekarang aku mulai tidak yakin dengan apa yang aku tunggu. Tak lama
aku melihat sesosok pria membuka pintu kafe. Hanya dari bayangannya saja aku
tahu siapa sesosok itu. Sosok itu berjalan ke arahku. Tiba-tiba aku merasa
lemas, aku mulai kembali tenggelam di sofa. Sekarang sosok itu sudah duduk
dihadapanku, lekuk wajahnya telihat begitu jelas. Aku melihat ke dalam mata
cokelat tua miliknya, seakan aku bisa membacanya. Lidahku terasa begitu pahit,
padahal cappuccino didepanku belum tersentuh.
“Maaf
ya aku telat.” Suara berat dari Pria itu terdengar sedikit merasa bersalah.
“Iya,
gapapa kok.”
“Aku
pesan dulu ya.” Kemudian dia pergi menuju konter pemesanan dibelakang mejaku.
Tiba-tiba handphonenya bordering, aku melihat nama seseorang terpampang di
layar, Lisa, aku yakin nama itu milik seorang perempuan.
Dia
kembali ke meja membawa secangkir kopi yang dari aromanya saja aku bisa tahu
bahwa itu kopi hitam, kopi kesukaannya. Dia menyeruputnya perlahan, tidak ada
raut wajahntidak suka dengan apa yang dinikmati oleh lidahnya. Bahkan raut
wajahnya menunjukkan dia cinta dengan apa yang sedang ia nikmati.
“Ada
apa? Kenapa kamu ingin bertemu aku disini?” Tanyanya. Aku hanya terdiam tidak
tahu harus menjawab apa. Jujur, aku sendiri tidak tahu kenapa.
Aku
menunddukan wajah, “Aku… aku mau….” Suaraku tiba-tiba parau. Terbata-bata
seakan aku anak kecil yang baru belajar bicara. “..aku hanya mau mengingatkan
kamu.”
“Mengingatkan
tentang?”
“Kamu
ingat kafe inilah tempat dimana kamu mengajakku pergi bersama untuk pertama
kali?”
Dia
mengangguk.
“Kita
menghabiskan 3 jam disini mengobrol hal-hal yang tidak penting, tertawa pada
hal yang bahkan tidak lucu. Dan sekedar berbagi cerita.”
Wajahnya
seakan menunjukkan bahwa ia mencermati kata-kataku, seakan ikut mengenang.
“Aku
ingat, kita tertawa pada pria yang menumpahkan kopi ke baju pacarnya kan?”
Aku
tersenyum.
“Dulu
aku hanya memesan Frappuccino setiap kali kamu mengajakku kesini, sedangkan
kamu, sama seperti sekarang, memesan kopi hitam. Kemudian kamu bilang bahwa aku
sangat cupu untuk tidak pernah mencoba kopi.”
“Iya,
ketika aku membuatmu mencoba kopi hitamku, mukamu berubah lucu karena kamu
bilang itu terlalu pahit. Hahahahaha.”
Suara
tertawanya selalu membuatku lebih tenang, selalu.
“Kemudian
setelah beberapa lama kamu mengajakku kesini, kamu memintaku mencoba café
latte. Dan setelah mencobanya, ternyata aku suka.”
“Suatu
kemajuan kan?” Tanyanya dengan senyum, ujung bibir kirinya lebih tinggi
daripada ujung bibir kanannya.
“Aku
yang tadinya hanya memesan vanilla Frappuccino menjadi pecinta vanilla latte.
Kemudian setiap kamu mengajakku kesini, aku selalu memesan latte. Mulai dari
vanilla hingga hazelnut latte sudah aku cicipi.”
Raut
wajahnya menunjukkan tanda tanya besar, entah kemana arah pembicaraanku ini.
“Lalu
kamu bilang, bahwa cappuccino juga tidak kalah enak. Kamu membuatku mencoba
cappuccino. Dan sekali lagi, kamu berhasil membuatku mencintainya.”
Matanya
hanya menatapku tajam, sorot mata itu, mata cokelat tua yang tidak pernah bisa
aku tolak keberadaannya. Membiarkan tatapannya mengarungi pikiranku. Mata
cokelat tua, sepekat kopi.
“Dan
bertahan lama aku jatuh cinta dengan cappuccino, khususnya di kafe ini.”
Dia
mengetuk-ngetuk jarinya ke meja, jelas menunggu apa maksudku. Tanpa dia harus
bertanya, aku menjelaskan pembicaraanku.
“Kamu
selalu bisa membuatku jatuh cinta, selalu bisa. Aku yang tidak pernah menyukai
kopi, menjadi salah satu pecinta kopi. Kamu selalu bisa membuatku jatuh cinta.
Kamu seperti kopi untukku. Kamu selalu bisa membuatku… Ketergantungan…
Pecandu.”
Dan
sekarang dia meneggakan tubuhnya,tubuhnya yang tadi condong ke arahku.
“Tapi,
aku tidak pernah bisa. Membuatmu mencintai apa yang aku cinta. Sekedar
membuatmu mencoba Frappuccino saja aku tak mampu.”
Bibirnya
merapat seakan terkunci. Membiarkan aku mengutarakan apa yang ingin aku
utarakan. Mengutarakan hal-hal yang hanya dimengerti oleh bayangannya.
“Dan
sekarang yang aku mampu lakukan, membiarkanmu pergi.”
Dan
kami berdua terdiam. Entah dalam interval berapa lama kami berdua tenggelam
dalam diam. Aku menahan tangis yang sebentar lagi tak bisa kubendung.
“Pergilah,
aku mohon. Pergi dengan pecinta kopi hitam lainnya.” Air mata mulai menetes
dipipiku.
Mata
cokelat tua itu menatapku dingin, seakan tidak mau pergi, tapi juga tidak mau
tinggal. Jemarinya kemudian menggenggam jemariku. Tidak ada kata yang sanggup
kami keluarkan. Hanya membiarkan suara mesin kopi mengisi diam. Kemudian
jemarinya mulai meraih kunci mobil dan handphonenya dari meja. Jelas aku
melihat ada 10 missed call dari
seorang bernama Lisa terpampang di handphonenya. Kemudian ia menghabiskan kopi
hitamnya.
“Kita
pasti akan bertemu lagi, dan kuharap di waktu dekat.” Katanya. Otakku tau bahwa
aku tidak mungkin sanggup, namun entah mengapa hatiku membenarkan perkataannya.
Air
mataku tumpah ketika ia benar-benar pergi dari hadapanku. Aku membenamkan
wajahku di pinggiran sofa. Aku tidak menyangka akan sepahit ini. Dia pergi,
bahkan bayangannya juga benar-benar pergi. Aku harus kuat, aku yang merelakan
dia pergi. Mungkin dia memang kopi untukku, namun aku tidak pernah menjadi kopi
untukknya. Kemudian aku mengusap air mataku, memasang wajah bahwa barusan tidak ada
yang terjadi. Aku pergi ke konter untuk memesan secangkir kopi hitam untuk
menemani cappuccinoku yang sudah dingin. Kunikmati kopi hitam seakan aku sudah
lama jatuh cinta pada kopi hitam, layaknya dia.
Kunikmati sedikit demi sedikit nikmatnya rasa pahit, sepahit rasa
dihatiku.
Jakarta, 04 Oktober 2013. 22:37
Aku hanya mau mengucapkan terima kasih kepadamu
Yang membuat
Tangisku menjadi kekuatanku
Sakitku menjadi semangatku
Lukaku menjadi senyumku
Tanpamu menjadi kebahagiaanku
No comments:
Post a Comment