7.6.15

Ayo, dukung Film Indonesia!

(Iklan yang ditayangkan sebelum film mulai dengan kartun karakter Presiden RI Bapak Joko Widodo mengajak masyarakat untuk menonton film Indonesia)
"Ayo, nonton film Indonesia!'
Tiba-tiba terdengar suara celetukan "Maksudnya film kayak Cabe-cabean?"

Pertama-tama, saya tidak bermaksud untuk mengucilkan atau mendiskriminasikan film yang saya sebutkan. Saya yakin, semua insan perfilman Indonesia begitu kreatif dalam menghasilkan karyanya. Namun, tetap sad-truth yang harus dihadapi bahwa masih banyak film lokal yang ada di bioskop mendatangkan stigma negatif tentang kredibilitas film Indonesia. Banyak sekali gaungan ajakan agar kita, masyarakat Indonesia, mendukung film lokal yaitu film Indonesia. Saya pribadi, sebagai penonton, sangat amat teramat (ya, ini kata yang tidak efektif namun cukup menjelaskan) mendukung film Indonesia, tapi apakah film tersebut layak mendapat dukungan saya?
Saat ini masyarakat Indonesia masih disuguhkan dengan tontonan yang bisa dibilang kurang mendidik, kurang menanamkan nilai-nilai baik, dan terkesan menjerumuskan (ke hal kurang baik). Apakah potret seperti itu yang ingin kita tonjolkan di mata dunia? Indonesia yang memiliki selera humor dengan mengata-ngatai fisik orang lain? Atau Indonesia yang terkenal akan hantu-hantunya yang menyeramkan dan lebih seramnya lagi dapat menjelma menjadi hantu lain seperti hantu pocong suster ngesot? Entah siapa yang dapat disalahkan, penonton atau para punggawa film indonesia.
Saya sendiri pun bertanya-tanya, siapa yang menyebabkan hal ini apakah penonton atau media? Saya ingat saya pernah bertanya kepada dosen Teori Komunikasi saya, media yang memengaruhi selera penonton atau sebaliknya. Jawaban beliau adalah "Tergantung, kamu mau lihat dari sisi penonton atau media."

Indonesia saat ini tengah gencar menjunjung ekonomi kreatifnya, di tahun 2015 ini terbentuk sebuah badan yaitu Badan Ekonomi Kreatif menurut Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2015. Langkah yang cukup besar dalam mengawal perkembangan ekonomi kreatif bangsa ini. Terlihat sekali bahwa Presiden begitu memerhatikan ekonomi kreatif khususnya di bidang Film. Selama dilaksanakannya Festival Film Indonesia, baru kali ini Presiden sendiri menghadiri acara tersebut . Bentuk dukungan yang begitu besar untuk insan perfilman Indonesia. Berbagai kampanye dan ajakan mengaung untuk mendukung perfilman Indonesia. Berbagai Film, Sutradara, Aktor Indonesia sukses baik di festival mancanegara bahkan di film box-office Hollywood (Berita: Film Indonesia di Festival Cannes, Aktor Indonesia bermain di film Hollywood). Berbagai prestasi terukir dan mengharumkan nama perfilman Indonesia. Tapi... ya.... dari semua kecemerlangan itu tetap ada tapi. 
Film-film yang bersaing di ajang bergengsi sebut saja Selamat Pagi, Malam atau What They Talk When They Don't Talk About Love tidak dapat disaksikan di negerinya sendiri oleh bangsanya sendiri. Mereka terpaksa gulung layar dengan cepat karena kalah saing dengan berbagai film Hollywood dengan jumlah teater yang mendominasi. Sekali lagi, seperti itukah dukungan terhadap film Indonesia?
Entah hanya perasaan saya atau memang begitu kenyataannya, film-film lokal yang disajikan kepada masyarakat Indonesia hanya film yang sering disebut dengan film ece-ece dengan hantu-hantuan yang menampilkan dada-dadaan. Dan film-film lokal lainnya terpaksa beralih ke festival dan teater lokal seperti Kineforum agar dapat disaksikan oleh penonton.
Sedikit saya ingin 'menyentil' para pembuat film hantu-dadaan tersebut. saat ini saya mengutip apa yang mbak Helena katakan (baca : Citizen Journalism) bahwa penonton Indonesia saat ini sudah kritis dan aktif dalam menentukan konten yang ingin diterima. Penonton Indonesia tidak akan tinggal diam dengan dicekoki film hantu-dadaan tersebut. Pada mata kuliah Teori Komunikasi, kami mahasiswa Komunikasi diajarkan bahwa Penontonlah yang menentukan konten apa yang ia terima dari berbagai media dan aktif pula ddalam menginterpretasi dan memberikan kritik terhadap apa yang disampaikan media.
"Media domination is weak and ineffectual, since the people make their own meanings and pleasures." - Budd, Entman, and Steinman
Saya dengan bangga mengakui bahwa perfilman Indonesia tengah menaiki roket menuju puncak! Berbagai film seperti Filosofi Kopi, Pendekar Tongkat Emas, Madre, Tabula Rasa dan masih banyak lagi dan saya tidak bisa menyebutkannya satu-persatu telah menumbuhkan harapan bagi masyarakat Indonesia akan kelangsungan perfilman Indonesia. Film-film Indonesia telah unjuk gigi mengenai siapa sebenarnya bangsa ini, seperti apa budaya bangsa ini, dan keindahan negeri ini. Judul-judul yang saya sebutkan hanya sedikit film yang ditayangkan di bioskop, masih banyak lagi film berkualitas lainnya yang ditayangkan dengan media lain seperti bioskop online dan lain-lain. 
Semoga kedepannya ketika jargon "Ayo, nonton film Indonesia' dikumandangkan, tidak akan ada lagi celetukan tentang bagaiman cabe-cabeannya film kita, namun celetukan dengan antusiasme dan semangat untuk mendukung film Indonesia.

Ayo, dukung film Indonesia! Tidak, tidak perlu menjadi produser atau hal-hal yang rumit lainnya. Cukup dengan menonton film Indonesia di bioskop, niscaya 10 atau 20 tahun kedepan, insan perfilman kita dapat menyaingi baik Hollywood, Bollywood bahkan aktif dan produktif di perfilman dunia.


Tertanda,

Penonton yang peduli Film Indonesia