4.10.13

Kopi


                Aku membenarkan posisi dudukku yang mulai tenggelam di sofa. Meneggakkan sandaranku hingga pandangan dihadapanku telihat jelas. Melihat seorang pria disebrangku sedang menatap layar komputer jinjingnya, dan segerombolan wanita di meja ujung sedang tertawa-tawa. Aroma kopi jelas semerbak di setiap sudut ruang kafe ini. Suara mesin kopi terdengar begitu jelas karena tempat dudukku berada di dekatnya. Aku menatap secangkir cappuccinoku yang belum tersentuh, masih berbuih dengan sebuah gambar hati yang terpotong garis terukir diatasnya. Entah mengapa aku tidak tega untuk menghancurkan keindahan itu. Aku melirik kearah jam tangan cokelat di pergelangan tanganku, jam sudah menunjukkan lewat dari pukul 7. Sekarang aku mulai tidak yakin dengan apa yang aku tunggu. Tak lama aku melihat sesosok pria membuka pintu kafe. Hanya dari bayangannya saja aku tahu siapa sesosok itu. Sosok itu berjalan ke arahku. Tiba-tiba aku merasa lemas, aku mulai kembali tenggelam di sofa. Sekarang sosok itu sudah duduk dihadapanku, lekuk wajahnya telihat begitu jelas. Aku melihat ke dalam mata cokelat tua miliknya, seakan aku bisa membacanya. Lidahku terasa begitu pahit, padahal cappuccino didepanku belum tersentuh.
                “Maaf ya aku telat.” Suara berat dari Pria itu terdengar sedikit merasa bersalah.
                “Iya, gapapa kok.”
                “Aku pesan dulu ya.” Kemudian dia pergi menuju konter pemesanan dibelakang mejaku. Tiba-tiba handphonenya bordering, aku melihat nama seseorang terpampang di layar, Lisa, aku yakin nama itu milik seorang perempuan.
                Dia kembali ke meja membawa secangkir kopi yang dari aromanya saja aku bisa tahu bahwa itu kopi hitam, kopi kesukaannya. Dia menyeruputnya perlahan, tidak ada raut wajahntidak suka dengan apa yang dinikmati oleh lidahnya. Bahkan raut wajahnya menunjukkan dia cinta dengan apa yang sedang ia nikmati.
                “Ada apa? Kenapa kamu ingin bertemu aku disini?” Tanyanya. Aku hanya terdiam tidak tahu harus menjawab apa. Jujur, aku sendiri tidak tahu kenapa.
                Aku menunddukan wajah, “Aku… aku mau….” Suaraku tiba-tiba parau. Terbata-bata seakan aku anak kecil yang baru belajar bicara. “..aku hanya mau mengingatkan kamu.”
                “Mengingatkan tentang?”
                “Kamu ingat kafe inilah tempat dimana kamu mengajakku pergi bersama untuk pertama kali?”
                Dia mengangguk.
                “Kita menghabiskan 3 jam disini mengobrol hal-hal yang tidak penting, tertawa pada hal yang bahkan tidak lucu. Dan sekedar berbagi cerita.”
                Wajahnya seakan menunjukkan bahwa ia mencermati kata-kataku, seakan ikut mengenang.
                “Aku ingat, kita tertawa pada pria yang menumpahkan kopi ke baju pacarnya kan?”
                Aku tersenyum.
                “Dulu aku hanya memesan Frappuccino setiap kali kamu mengajakku kesini, sedangkan kamu, sama seperti sekarang, memesan kopi hitam. Kemudian kamu bilang bahwa aku sangat cupu untuk tidak pernah mencoba kopi.”
                “Iya, ketika aku membuatmu mencoba kopi hitamku, mukamu berubah lucu karena kamu bilang itu terlalu pahit. Hahahahaha.”
                Suara tertawanya selalu membuatku lebih tenang, selalu.
                “Kemudian setelah beberapa lama kamu mengajakku kesini, kamu memintaku mencoba café latte. Dan setelah mencobanya, ternyata aku suka.”
                “Suatu kemajuan kan?” Tanyanya dengan senyum, ujung bibir kirinya lebih tinggi daripada ujung bibir kanannya.
                “Aku yang tadinya hanya memesan vanilla Frappuccino menjadi pecinta vanilla latte. Kemudian setiap kamu mengajakku kesini, aku selalu memesan latte. Mulai dari vanilla hingga hazelnut latte sudah aku cicipi.”
                Raut wajahnya menunjukkan tanda tanya besar, entah kemana arah pembicaraanku ini.
                “Lalu kamu bilang, bahwa cappuccino juga tidak kalah enak. Kamu membuatku mencoba cappuccino. Dan sekali lagi, kamu berhasil membuatku mencintainya.”
                Matanya hanya menatapku tajam, sorot mata itu, mata cokelat tua yang tidak pernah bisa aku tolak keberadaannya. Membiarkan tatapannya mengarungi pikiranku. Mata cokelat tua, sepekat kopi.
                “Dan bertahan lama aku jatuh cinta dengan cappuccino, khususnya di kafe ini.”
                Dia mengetuk-ngetuk jarinya ke meja, jelas menunggu apa maksudku. Tanpa dia harus bertanya, aku menjelaskan pembicaraanku.
                “Kamu selalu bisa membuatku jatuh cinta, selalu bisa. Aku yang tidak pernah menyukai kopi, menjadi salah satu pecinta kopi. Kamu selalu bisa membuatku jatuh cinta. Kamu seperti kopi untukku. Kamu selalu bisa membuatku… Ketergantungan… Pecandu.”
                Dan sekarang dia meneggakan tubuhnya,tubuhnya yang tadi condong ke arahku.
                “Tapi, aku tidak pernah bisa. Membuatmu mencintai apa yang aku cinta. Sekedar membuatmu mencoba Frappuccino saja aku tak mampu.”
                Bibirnya merapat seakan terkunci. Membiarkan aku mengutarakan apa yang ingin aku utarakan. Mengutarakan hal-hal yang hanya dimengerti oleh bayangannya.
                “Dan sekarang yang aku mampu lakukan, membiarkanmu pergi.”
                Dan kami berdua terdiam. Entah dalam interval berapa lama kami berdua tenggelam dalam diam. Aku menahan tangis yang sebentar lagi tak bisa kubendung.
                “Pergilah, aku mohon. Pergi dengan pecinta kopi hitam lainnya.” Air mata mulai menetes dipipiku.
                Mata cokelat tua itu menatapku dingin, seakan tidak mau pergi, tapi juga tidak mau tinggal. Jemarinya kemudian menggenggam jemariku. Tidak ada kata yang sanggup kami keluarkan. Hanya membiarkan suara mesin kopi mengisi diam. Kemudian jemarinya mulai meraih kunci mobil dan handphonenya dari meja. Jelas aku melihat ada 10 missed call dari seorang bernama Lisa terpampang di handphonenya. Kemudian ia menghabiskan kopi hitamnya.
                “Kita pasti akan bertemu lagi, dan kuharap di waktu dekat.” Katanya. Otakku tau bahwa aku tidak mungkin sanggup, namun entah mengapa hatiku membenarkan perkataannya.
                Air mataku tumpah ketika ia benar-benar pergi dari hadapanku. Aku membenamkan wajahku di pinggiran sofa. Aku tidak menyangka akan sepahit ini. Dia pergi, bahkan bayangannya juga benar-benar pergi. Aku harus kuat, aku yang merelakan dia pergi. Mungkin dia memang kopi untukku, namun aku tidak pernah menjadi kopi untukknya. Kemudian aku mengusap air mataku, memasang wajah bahwa barusan tidak ada yang terjadi. Aku pergi ke konter untuk memesan secangkir kopi hitam untuk menemani cappuccinoku yang sudah dingin. Kunikmati kopi hitam seakan aku sudah lama jatuh cinta pada kopi hitam, layaknya dia.  Kunikmati sedikit demi sedikit nikmatnya rasa pahit, sepahit rasa dihatiku.



Jakarta, 04 Oktober 2013. 22:37
Aku hanya mau mengucapkan terima kasih kepadamu
Yang membuat
Tangisku menjadi kekuatanku
Sakitku menjadi semangatku
Lukaku menjadi senyumku
Tanpamu menjadi kebahagiaanku

No comments:

Post a Comment