9.5.15

Selamat Pagi, Malam





Bintang yang sendiri
Datang malam ini
Biar tak sendiri
Tak cemas karena pagi

Melayang-layang
Ke dadaku
Ada rindu yang
Hangat disitu

Semalam saja
Lalu ku biarkan
Engkau menyelinap
Pergi jauh

Karena ku tak ingin
Apa-apa
Dan tak tak dimiliki
Siapa-siapa

Semalam saja
Tak mau sendiri

Ucapkan kata
Selamat Pagi

Selamat Pagi, Malam - Agustine Oendari

Lagu ini merupakan soundtrack dari salah satu film Indonesia yang saya bela-belakan untuk menonton film berjudul sama yaitu Selamat Pagi, Malam karya Lucky Kuswandi. Film yang mengambil latar di ibukota Indonesia, yaitu Jakarta begitu menampilkan kehingar-bingaran kota metropolitan ini, namun memaparkan kenyataan bahwa sesuatu yang gemerlap mempunyai sisi gelapnya. 
Setiap orang punya rahasia, yes?
Seperti ketiga tokoh utama yaitu Gia (Adinia Wirasti), Indri (Ina Panggabean), dan Ci Surya (Dayu Wijanto)

Gia, sang pelancong yang baru saja pulang dari kota The Big Apple kembali ke rumahnya yaitu Jakarta. Culture shock, mendapati kehingar-bingaran dan kemunafikan Jakarta saat ini. Apapun yang trend bergerak seperti wabah. Satu orang mempunyai blackberry, semua orang punya blackberry. Satu orang menyukai rainbow cake, semua orang berlomba-lomba menyantap rainbow cake. Entah kemana orisinalitas individu di Jakarta masa kini. Namun yang Gia tidak sangka, partner semasa di New York yang terlebih dahulu pulang, Naomi (Marissa Anita) adalah satu dari sekian orang yang Gia anggap munafik. Seseorang yang paling ia harapkan untuk tidak menjadi mayoritas. Entah siapa yang lebih munafik, Jakarta, atau Gia yang masih menganggap dirinya berada di New York dan tidak menerima keadaan rumahnya sekarang.

Siapapun ingin merasakan berada pada strata sosial tertinggi, apalagi di Jakarta dimana status sosial seseorang dapat kamu tebak berdasarkan merk tas jinjingnya. Termasuk Indri si penjaga handuk di tempat olahraga, ia ingin merasakan bagaimana menjadi orang kaya! Jalan pintas pun ia pilih. "Pilihlah pria yang mapan" kata orang tua dulu. Indri menggunakan kemahsyuran teknologi saat ini untuk menemukan sang pria mapan. Chatting atau mengobrol di dunia maya merupakan upaya Indri untuk mencapai keinginannya. Pria yang belum pernah ia lihat batang hidungnya pun meminta sesuatu yang rasanya kurang layak untuk seseorang yang belum pernah ditemui. Pria itu meminta Indri memuaskan hasratnya, ya, hasrat seksualnya melalui chatting. Hanya foto, pikir Indri yang kemudian memberikan apapun yang pria itu minta dengan harapan bahwa pria tersebut dapat membantunya mencapai kemakmuran berlebihan. Namun bagaimana ketika Pria itu tidak sesuai dengan apa yang Indri pikirkan? Bagaimana jika Indri merasa tidak semurah itu? Bagaimana ternyata Indri lebih memilih untuk jatuh pada lelaki yang nongkrong di kedai kerak telor pinggir jalan?

When you lost your soulmate, it feels like you lost half of your soul. Itulah yang dirasakan oleh Ci Surya ketika ditinggal suaminya untuk menghadap ke yang Maha Kuasa. Ia kehilangan arah. Namun penemuan sebuah kartu nama dengan nama Sofia di jas milik suaminya membuat Ci Surya harus berpetualang meninggalkan zona nyamannya. Menemukan sesosok Sofia, benalu pada pernikahannya. Entah untuk konfrontasi atau balas dendam, yang Ci Surya tahu adalah menemukan sosok Sofia.

Ketiga cerita berbeda latar belakang dipertemukan oleh keadaan, oleh keindahan kota Jakarta pada malam hari dengan segala lampu gemerlap, tepatnya di sebuah hotel (atau motel) tua nan indah. Sang sutradara, Lucky Kuswandi, tahu benar bagaimana mempertemukan ketiga tokoh dan meyakinkan penonton akan keabsahan cerita para tokoh tersebut. Penataan gambar yang begitu ciamik, membuat siapa saja jatuh cinta dengan Jakarta pada malam hari. Film ini berhasil menyentil sisi gelap Jakarta yang masih belum diterima masyarakatnya. Sisi Jakarta yang gelap, namun nyata adanya. Menurut saya, film ini memberikan penggambaran dan cara pandang yang baru bagi realitas yang ada saat ini khususnya di Jakarta. Cerita yang dibawa perlahan membuat penonton semakin lama semakin larut padanya. Dan yang tidak kalah adalah soundtrack yang begitu menghidupkan film ini. Rasanya keempat ibu jari saya akan saya angkat untuk film ini.

Seperti yang saya katakan bahwa film ini adalah salah satu film yang saya bela-belakan untuk menontonnya. Sayang sekali saya tidak sempat menonton film ini di bioskop. Akhirnya saya menonton di Kineforum Misbar yang dilaksanakan di Taman Menteng. Beruntungnya saya ditemani ketiga sahabat saya Andre, Radit, dan Faishal untuk menonton film ini. Saat itu hujan baru saja selesai mengguyur daerah Menteng dan sekitarnya namun antusiasme penonton cukup ramai untuk film yang baru akan diputar pukul 9 malam. Selama menonton, penonton begitu terkesima dan tersihir hingga tidak banyak suara-suara tambahan datang dari bangku penonton. Setelah film selesai ternyata ada kejutan! Sang produser, Sammaria Simanjuntak, Ci Surya, Dayu Wijanto, dan staff dari Dinas Pariwisata DKI Jakarta datang dan memberikan sesi tanya-jawab. Para penonton begitu antusias untuk mengangkat tangan dan bertanya. Setelah sesi-tanya jawab selesai, beruntung saya bisa sedikit mengobrol dengan produser Sammaria Simanjuntak. Saya mengatakan bahwa saya begitu menganggumi karya-karyanya dari karya terdahulu seperti cin(T)a dan Demi Ucok. Saya ingat betul bahwa beliau mengatakan terima kasih dan bilang bahwa saya harus terus berusaha dan jangan pernah menyerah untuk membuat perfilman Indonesia menjadi lebih baik.

Malam itu begitu Indah, rasanya saya tidak ingin mengucapkan selamat pagi.



Selamat Pagi, Malam (In the Absence of the Sun)
Released : 2014
Director : Lucky Kuswandi
Producer : Sammaria Simanjuntak, Sharon Simanjuntak
Studio : Kepompong Gendut
Cast : Adinia Wirasti, Marrisa Anita, Dayu Wijanto
Duration : 92 minutes




No comments:

Post a Comment